Langkahku akan sempurna jika ia mengarahkan pijakan kakiku. Kemana aku akan pergi, inginku selalu ada cahaya darinya agar langkahku selalu berada dalam cahaya terang benderang yang benar – benar tahu kemana tujuanku. Memilikinya merupakan sebuah anugerah dan harapan. Sangat besar harapan yang kutanamkan pada dirinya. Hingga segala waktu dan kepentingan lain kuanggap bagai angin yang bertiup, hanya untuk dia seorang. Aku slalu mengagungkannya, hanya untuk sebuah harapan yang kunanti dari dirinya. Sebuah komitmen mengikat dua insan menjalani hidup, kepribadian, dan prinsip yang berbeda. Berharap perbedaan itu akan lebur menjadi sebuah keserasian, keselarasan dan keseimbangan. Komitmen ini bukan sekedar hitam di atas putih dengan persetujuan dua pihak. Komitmen ini bukan sekedar janji para remaja yang hendak menghabiskan waktu bersama. Dan komitmen ini bukan hanya sebuah kata ‘komitmen’. Komitmen ini lebih dari sgalanya, sebuah namun berarti berbuah-buah. Aku berkomitmen untuk memilihnya, untuk menjalin hubungan dengannya, dan untuk menghabiskan hampir seluruh waktuku dengannya. Hampir dua tahun aku bersamanya, mencoba masuk dan menyatu dalam nadinya. Aku mencoba mengabaikan perbedaan yang ada diantara kami berdua. Aku mencoba untuk selalu mengerti dan menerima kekurangannya. Menganggap bahwa semua itu tak pernah ada, tak pernah menyelimuti hubungan kami, dan menganggap bahwa kami baik – baik saja. Entah aku yang terlalu bodoh, atau memang ini yang dinamakan pengorbanan dalam sebuah hubungan? Kami berasal dari latar dan prinsip hidup yang berbeda dan sangat berbeda lebih dari bumi dan langit ataupun air dengan minyak. Aku selalu tak peduli dengan semua celotehan sekitar, yang kuinginkan hanyalah dia, sebuah cahaya jalanku. Waktu ini terus berjalan, hari-hari pun terus berlalu. Entah apa yang membuatku sadar akan kebodohan dalam komitmen itu. Salahku kah? Atau kesalahannya? Atau kesalahan sebuah komitmen? Semakin hari aku ingin lepas dari komitmen itu. Ingin bebas lepas seperti burung merpati yang mencari kebebasannya di udara. Merasakan sejuknya angin yang bertiup menghembus sayap merpati bebas itu.
Aku sadar aku berbeda dengannya, aku sadar dia tak pantas hidup dalam jiwaku. Sebuah komitmen seharusnya menghasilkan timbal balik, bukan sekedar menerima dari salah satu pihak. Dan aku tak merasakan sebuah timbal balik itu. Aku tak bisa merasakannya seperti komitmen teman-temanku. Mereka seakan selalu berada dalam titik kesenangan bersama pujaan-pujaan hatinya. Aku iri terhadap mereka. Seringkali pujaannya hati mereka bertamu sejenak menjenguk dengan segala usaha dan upaya. Tanpa merepotkan mereka sedikitpun. Aku iri ketika sebuah kawan pergi bersama dengan pujaan hatinya menaiki sebuah Toyota ataupun Mitsubishi. Mereka tak perlu basah ketika hujan datang, mereka tak perlu membatalkan janji ketika cuaca tak mendukung, dan mereka tak perlu berkotor-kotor ria ketika berada di tengah kota. Aku iri ketika seorang kawan tak perlu mengeluarkan uang sepeser pun untuk biaya makan mereka di restoran. Aku iri ketika seorang kawan mendapatkan kejutan ataupun hadiah yang mahal saat dia berulang tahun. Aku iri ketik seorang kawan mendapatkan pelukan hangat dari pujaan hatinya, ketika dia membutuhkan seseorang saat dia benar-benar terpuruk. Dan inti dari semuanya adalah aku iri kepada mereka yang benar-benar beruntung dalam berkomitmen. Andai cahaya itu seorang yang tak perlu khawatir pergi kemana-mana karena tak ber-uang. Andai cahayaku seorang yang selalu rapi dan terlihat bersih karena dia tak berurusan dengan panas, hujan atau udara kotor disaat perjalanan. Andai dia seorang yang lebih peduli dengan masalah dan rintangan yang aku hadapi. Mungkin aku takkan ingin mempunyai niat untuk terbang bebas seperti sebuah merpati yang menikmati hembusan angin. Andai cahaya itu lebih baik, mungkin aku akan tetap bersuka cita dan menikmati komitmen ini. Sebuah komitmen yang aku pilih untuk menanamkan harapan besar dalam hidupku………
Tidak ada komentar:
Posting Komentar